PENGARUH BOOK-TAX DIFFERENCES TERHADAP PERINGKAT OBLIGASI DI PASAR KREDIT INDONESIA

PENGARUH BOOK-TAX DIFFERENCES
TERHADAP PERINGKAT OBLIGASI DI PASAR KREDIT INDONESIA

Semakin berkembangnya pasar obligasi di Indonesia mengakibatkan semakin pentingnya ketersediaan informasi bagi investor/kreditor untuk mengukur risiko investasi obligasi. Adanya risiko emiten obligasi/debitor tidak mampu membayar pinjaman pokok beserta bunganya (risiko default) menyebabkan keberadaan lembaga pemeringkat obligasi seperti Moody’s dan Standard & Poor’s (di Amerika Serikat), atau PT Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO) dan PT Moody’s Indonesia (di Indonesia) semakin dibutuhkan untuk membantu investor dalam melakukan estimasi atas risiko tidak terbayarnya pokok pinjaman dan bunga obligasi. Siagian (2001) menyatakan bahwa salah satu peran lembaga pemeringkat adalah agar kualitas kinerja obligasi dapat lebih mudah dipahami oleh pemodal sehingga perusahaan berkinerja rendah mudah terlihat. Seiring dengan era globalisasi dalam pasar keuangan dan meningkatnya penggunaan peringkat kredit dalam regulasi dan perjanjian keuangan, Frost (2007) menyatakan bahwa hal tersebut menyebabkan semakin bertambah pentingnya peringkat kredit yang diberikan untuk setiap penerbitan obligasi oleh suatu perusahaan.

Dalam melakukan penilaian terhadap risiko kredit suatu perusahaan dan proses pemberian peringkat baik terhadap obligasi maupun surat hutang lainnya yang diterbitkan oleh perusahaan, PEFINDO mensyaratkan beberapa hal, salah satunya adalah laporan keuangan perusahaan yang telah diaudit selama 5 tahun terakhir dan sekurang-kurangnya selama 2 tahun terakhir oleh KAP yang teregistrasi di Bapepam. Ayers, Laplante, dan McGuire (2009) mengemukakan bahwa walaupun peran penting yang dilakukan oleh pemeringkat kredit dalam pasar kredit (credit market), sedikit diketahui tentang informasi di dalam laporan keuangan perusahaan yang digunakan oleh analis kredit dalam membuat rekomendasi peringkat. Selain itu, Holthausen dan Watts (2001) melakukan penelitian dengan menganalisa penggunaan laporan keuangan oleh pemberi pinjaman modal (kreditor) dan menyatakan bahwa ada ketidakjelasan apakah investor saham dan kreditor menggunakan informasi dalam laporan keuangan dengan cara yang sama. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana laporan keuangan dapat digunakan sebagai sarana informasi bagi para pengguna laporan keuangan terutama investor, kreditor, dan analis kredit.

Manajemen laba dianggap sebagai salah satu faktor yang menentukan kualitas laporan keuangan perusahan. Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi adanya praktik manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan. Salah satu cara untuk mengidentifikasi adanya praktik manajemen laba tersebut adalah dengan menggunakan perbedaan antara laba sebelum pajak (book income) dan penghasilan kena pajak (taxable income). Beberapa literatur dari luar Indonesia mulai bermunculan untuk meneliti hal tersebut, misalnya Bauman et al. (2001), Phillips et al. (2002), Burgstahler et al. (2002), Dhaliwal et al. (2004), Maydew (2005), Tang (2006), dan Frank et al. (2009). Penelitian yang dilakukan oleh Mills dan Newberry (2001), Manzon dan Plesko (2002), serta Ayers, Jiang, dan Laplante (2008) menemukan bahwa taxable income dapat menjadi indikator atas kualitas laba yang lebih informatif dibandingkan dengan book income untuk perusahaan-perusahaan yang melakukan manajemen laba.

Penelitian Crabtree dan Maher (2009) melakukan penelitian mengenai pengaruh book-tax differences terhadap penentuan peringkat obligasi oleh analis kredit atau lembaga pemeringkat. Berdasarkan kerangka pemikiran dan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, Crabtree dan Maher (2009) menduga bahwa book-tax differences dalam jumlah besar dapat menjadi pertanda kualitas laba perusahaan yang rendah. Apabila laba yang dilaporkan perusahaan telah menjadi objek manipulasi dan manajemen laba, laba perusahaan akan menunjukkan persistensi yang rendah di masa depan, maka hal ini akan semakin meningkatkan risiko perusahaan tidak mampu membayar pokok obligasi dan bunganya di masa depan (risiko default).

[su_button url=”https://drive.google.com/open?id=0B-uYSqtGPj4Za1RYSnFnZUltUEk” target=”blank” style=”flat” background=”#f33333″ size=”8″ center=”yes” radius=”0″ icon=”icon: cloud-download”]DOWNLOAD[/su_button]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Klik disini